Selasa, 30 Juni 2015

Diantara Pesan " SOE HOK GIE " Untuk Memaknai Senior - Junior



Malam ini aku tertarik dengan pesan “ Soe Hok Gie ” di sini aku memulai awal tulisan ku dengan memilih 3 pesan yang menarik buat referensi catatan ku malam ini, yaitu:
  • Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
  • Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
  • Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan dari pada menyerah terhadap kemunafikan.

Ketiga dari pesan “Soe Hok Gie” tersebut sangat menantang apa yang sudah ku lakukan, dan apa yang sedang ingin aku lakukan kedepannya, melihat fenomena saat ini. Aku akan mencoba sedikit menguraikan beberapa perubahan zaman dari masa kemasa.

Ketika ku menjalani hanya satu masa saja, dimana selama ini dikatakan yaitu masa Reformasi “Demokrasi” tetapi yang aku rasakan secara pribadi, melihat bangsa ini hilang kendali dan selalu distirkan oleh bangsa-bangsa Asing.

Walaupun Orde lama dan Orde Baru telah Almarhum, namun kondisi di Era Reformasi sekarang ini tak jauh berbeda dengan kondisi di kedua Orde yang sama-sama ditumbangkan mahasiswa itu. Korupsi masih marak. Eksploitasi sumber daya alam masih berlangsung secara luar biasa. Pengkavlingan hutan untuk disulap menjadi kebun skala raksasa yang cuma menguntungkan segrlintir penguasa dan pengusaha masih terjadi. Birokrat yang gemar disuap masih rajin mengeluarkan sertifikat Amdal (Analisis Masalah Dampak Lingkungan) untuk perusahaan yang jelas-jelas menimbulkan pencemaran air, tanah dan udara.

Saya menarik sedikit pesan yang telah disampaikan “Soe Hok Gie” yang ku jelaskan pada parafgraf diatas, maka aku menarik sedikit kesimpulan, bahwasannya kita menjadi seorang manusia harus memiliki prinsif dan harus berani dalam bersikap, apapun itu ketika menurut hati dan fikiran kita sudah baik dan benar, maka. Jangan pernah takut menahan ucapan yang akan kita keluarkan baik itu sikap maupun perbuatan, lakukan saja selagi masih dijalan yang benar. Karena tidak ada ungkapan yang tak bisa disampaikan ketika semuanya telah sirna.

Di sini aku mencoba menjelaskan kehidupan yang dijalani kita sebagai pelaku menjalankan perjalanan hidup selama nyawa telah diberikan oleh Tuhan terhadap kita sebagai umatnya.

Aku akan mencoba melihat beberap ringkasan perjalanan dalam kenaikan kelas atau bisa disebut naik tingkat alias level. Ketika kita melihat di Indonesia untuk masalah belajar, sangat indah sekali.


Memasuki masa Taman Kanak-Kanak (TK) teror fedofilia mengancam setiap saat. Saat masuk Sekolah Dasar (SD), seorang anak (mungkin) bisa dipukuli kakak kelasnya gara-gara tak sengaja semisal menumpahkan minuman sang kakak kelas. Di usia sekolah menengah pertama (SMP) maupun menengah atas (SMA), para pelajar dengan gagah berani dipersiapkan untuk “bertanding” dengan sekolah lainnya dalam sebuah kompetisi bernama tawuran. Dan memasuki masa kuliah di perguruan tinggi, seorang mahasiswa harus siap diplonco senior-seniornya. Hingga ada yang sampai Tewas, seperti kita melihat berita di media beberapa tahun lalu dari mahasiswa junior tingkat 1 STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan) Jakarta Utara. Mahasiswa ini diduga tewas akibat kekerasan yang dilakukan mahasiswa senior terhadap mahasiswa juniornya. Sebelumnya kekerasan juga sering terjadi di sekolah-Sekolah berbasis Kedinasan seperti IPDN, dan sekarang ini STIP. Selain kekerasan antara Senior terhadap Junior yang sering menimpah Sekolah-Sekolah Tinggi Kedinasan, kekerasan juga sering terjadi pada tataran Sekolah Menengah. Sekolah-Sekolah sering melakukan sistem penerapan kedisiplinan yang malahan lebih ketat dari pada Sekolah-Sekolah militer di Indonesia. Bagaikan sebuah investasi keuangan, resiko demikian tentulah ada dan siap-siap mengancam bagi siapa saja yang tak sanggup menerima kenyataan.

Disamping standar mutu yang masih jauh tertinggal, guru-guru yang mengajar tidak memiliki kompetensi, dan beragam kerusakan infrastruktur sekolah. Carut marut dunia pendidikan Indonesia memang patut diberikan apresiasi. Setidaknya, jika ada awards dalam dunia pendidikan tingkat internasional, dengan kepala menunduk kita akan “berlangganan” sebuah kategori bernama (Pendidikan Terburuk).

Walaupun ada beberapa hasil prestasi yang telah didapatkan anak-anak bangsa dikaca internsional selama ini, tetapi kita jangan selalu menjadi pesimis terhadap apa yang telah menimpah keburukan bangsa ini, kita tetap membenah diri dan selalu mengisi sebuah kemerdekaan yang telah Bung Karno dan kawan-kawan memperjuangkan dahulu kala, agar kita bisa melakukan untuk bangsa indonesia yang lebih hebat.

 
Tapi, dalam tulisan ini saya tak hendak mengkritisi bagaimana dunia pendidikan kita berjalan. Seperti yang saya jelaskan diatas, kekerasan begitu identik dengan kehidupan kita sehari-hari, bahkan dalam sebuah dunia bernama pendidikan sekalipun. Saya percaya, Anda yang saat ini telah memasuki usia dewasa, tentulah pernah merasakan bagaimana narasi-narasi di atas dalam dunia pendidikan yang telah saya dan Anda jalani. Dikotomi senior-junior tentulah sebuah dialektika yang setiap saat bisa kita rasakan dan oleh sebagian orang dianggap salah satu penyebabnya. Terutama dalam masa-masa awal memasuki dunia baru, dunia yang menurut beberapa orang dianggap sebagai “naik level” atau “naik kelas”.

Pertanyaan yang cocok diajukan untuk melihat fenomena senior-junior yang begitu menentukan dalam dunia pergaulan di sekolah-sekolah atau kampus adalah mengapa hal demikian terjadi ?

Benarkan ini merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai “penerimaan pergaulan” ?

Atau, hanya sebatas bentuk “tradisi” balas dendam antara senior-junior yang berbentuk lingkaran setan yang tak berujung.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, nampaknya konsep yang paling cocok memahami bagaimana dikotomi senior-junior bekerja adalah apa yang disebut ilmuan sosial sebagai “inisiasi”. Makhluk apakah inisiasi ini dan bagaimana bentuknya ?

Inisiasi adalah sebuah bentuk “upacara” peralihan yang harus dilakukan seseorang yang biasanya disebut sebagai inisian. Arnold Van Gennep, seorang Etnografer berkebangsaan Prancis melihat seorang manusia dari hidupnya tak akan lepas dari pengaruh orang-orang disekitarnya.

Upacara peralihan merupakan salah satu proses daur hidup yang mesti dilalui seseorang guna mencapai kemajuan tingkatan dalam hidup seseorang. Atau, poin kunci yang diutaran Hans Daeng, seorang Antropolog Indonesia, dalam proses ini adalah apa yang disebutnya sebagai “bejalar pengetahuan kelompok/etniknya”. Inisiasi atau “Les Rites de Passage” sebagai suatu ritus yang menggiring setiap perubahan tempat, keadaan, status, dan lain hal ke dalam tiga tahapan. Yakni perpisahaan, margin, dan aggregation atau menggunakan istilah separasi, transisi, dan reinkorporasi. Kurang lebih hal demikian juga diamini oleh Victor Turner, Antropolog berkebangsaan Inggris dalam melihat siklus daur hidup manusia saat menengok upacara peralihan. Turner mendefinisikan tahapannya dalam tiga langkah, yaitu: seperation, liminal, dan reintegration.

Tahapan Les Rites de Passage baik itu perpisahan, margin, dan aggregation atau separasi, transisi, dan reinkorporasi atau dalam istilah Victor Turner yakni seperation, liminal, dan reintegration merupakan tiga tahapan sama yang mesti dihadapi dalam sebuah proses inisiasi oleh pelakunya atau biasa disebut sebagai “inisian”.

Dalam masa separation, seorang inisian memasuki masa-masa ambigu atau absurd. Dikatakan demikan karena dalam masa ini, seseorang kehilangan statusnya sebelumnya. Ia pun belum menerima status barunya. Beberapa pendapat mengutarakan bahwa dalam masa ini, seorang inisian mengalami masa-masa yang kritis. Dikatakan kritis karena ia sangat rawan dalam berbagai hal, termasuk keselamatan nyawanya sekalipun. Dan jika masa separation telah dilalui, ia akan menerima berbagai bentuk penanda sebuah komunitas. Misalnya tato bagi masyarakat Dayak di Kalimantan, kelamin yang telah disunat bagi masyarakat Jawa dan sumatera, atau lain hal yang menandai simbol komunitas. Di masa ini, seorang inisian dikatakan berada dalam masa liminal. Hingga, suatu saat tertentu, seorang inisian akhirnya dinyatakan telah lulus dan diterima dalam sebuah kelompoknya. Penerimaan ini dalam beberapa pendapat dikatakan sebagai bentuk “kelahiran kembali” dalam sebuah masyarakat. Seorang inisian lahir setelah dikatakan “mati” dari status lamanya sebelum sebuah proses inisiasi dilakukan dan hidup kembali diakhir proses inisiasi dengan status baru yang disandangnya. Masa inilah yang disebut sebagai reintegration.

Apakah dikotomi senior-junior dalam dunia pendidikan merupakan sebuah bentuk “modern” dari sebuah proses bernama inisiasi sebagai syarat utama dalam penerimaan pergaulan ?

Sebelum menjawab pertanyaan demikian, perlulah kita melihat dengan lebih jelas bagaimana sebuah proses inisiasi dilakukan. Hans Daeng seorang Antropolog yang meneliti masyarakat Nage, Nusa Tenggara Timur mendeskripsikan bagaimana proses inisiasi dilakukan dalam proses bermasyarakat disana. Inisiasi yang dilakukan oleh masyarakat Nage ialah sunatan atau mereka menyebutnya sebagai Gedho Logo. Berbeda dengan sunatan yang dilakukan masyarakat Muslim yang umum dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta dengan mendatangi dokter spesialis, sunat yang dilakukan masyarakat Nage memiliki “keunikannya” tersendiri. Dalam melakukan sunat, seseorang remaja yang hendak disunat “dipaksa” dipisahkan dalam lingkungan kehidupan masyarakat tempat tinggal. Sebelum prosesi sunatan dilakukan, seseorang yang hendak disunat harus pergi ke pedalaman hutan atau pergi ke pinggiran sungai yang berjarak jauh dari perumahan. Bukan tanpa alasan, sunat dilakukan di tengah pedalama hutan atau pinggiran sungai yang letaknya jauh. Ini dilakukan karena proses sunatan merupakan sebuah proses yang tabu. Dalam prosesi ini hanya beberapa orang yang akhirnya akan ikut ke pedalaman untuk melaksanakan upacara ini. Para wanita tak diperkenankan mengikuti jalannya prosesi ini.

Biasanya, Gedho Logo yang dilakukan di pedalama hutan berlangsung selama 2-3 minggu. Dalam mengisi hari-hari di pedalaman hutan tersebut, serangkaian upacara sebelum prosesi ini wajib dilakukan oleh para inisian atau remaja yang akan disunat. Pada akhirnya, prosesi sunatan dilakukan oleh seorang dukun sunat atau masyarakat Nage menyebutnya ata mali. Setalah sunatan dilakukan, seorang inisian belum dapat kembali ke masyarakat di desa. Ia masih diharuskan untuk berada di pedalaman hutan paling tidak hingga sang inisian dikatakan sembuh pasca disunat. Dan setelah sembuh, sang inisian akan dibawa pulang kembali. Saat di desa, sebuah upacara meriah siap menyambutnya dengan sukacita.

Tapi yang hendak saya garis bawahi dalam prosesi Gedho Logo ini adalah motif utama mengapa prosesi ini dilakukan oleh masyarakat Nage. Seperti diutarakan Hans Daeng, Gedho Logo tak asal dilakukan oleh masyarakat Nage. Banyak kewajiban-kewajiban yang menyertai prosesi ini hingga akhirnya sang inisian disunat. Masyarakat masih menganggap bahwa Gedho Logo merupakan upacara sakral yang kelangsungannya harus terjaga. Aspek magis-religius merupakan motif utama mengapa Gedho Logo dilakukan. Dikotomi sakral-profan tentulah melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Nage.

Gedho Logo dikatakan sebagai warisan leluhur yang harus tetap dijaga kelangsungannya. Jika tidak, roh-roh leluhur bisa saja memberikan bala penyakit pada desa yang tak melangsungkan prosesi ini. Ada aspek “ketergantungan” antara yang profan yang diwakili masyarakat Nage dengan aspek sakral yang tersemat dalam narasi-narasi tentang leluhur. Dan seperti Gedho Logo pada masyarakat Nage, banyak suku-suku menganggap bahwa dalam menjalankan prosesi inisiasi, poni kunci yang menjadi dasar dilakukannya upacara adalah ketergantungan kepada sebuah aspek bernama magis-religius.

Menjawab pertanyaan diatas, tentulah menarik bahwa senior-junior bukanlah sebuah keadaan yang dikatakan magis-religius. Tak ada unsur-unsur kepercayaan didalamnya. Begitupun, tak ada “roh-roh leluhur” yang bergentayangan dalam bentuk pergaulan senior-junior. Maka, bisa dikatakan bahwa apa yang disebut senior-junior dalam sebuah pergaulan terutama dalam dunia pendidikan bukanlah bentuk modern dari inisiasi. Karena toh, seperti yang saya utarakan diatas, syarat atau motof utama inisiasi tak diketemukan dalam bentuk senior-junior dalam dunia pendidikan.

Tentu, beragam pendapat yang masih diperdepatkan dalam menyikapi fenomena senior-junior ini. Iwan Meulia Pirous, seorang Antropolog berargumen dengan catatan bahwa inisiasi atau perpeloncoan dalam dunia kampus merupakan sebuah bentuk inisiasi tersendiri. Catatan yang dimaksud tentulah “tak ada korban tewas” dalam prosesi inisiasi yang dilakukan kampus-kampus. Iwan menyatakan bahwa prosesi penerimaan di kampus-kampus dengan kekerasan bukanlah hal yang aneh. Menurutnya, rasa sakit adalah bagian yang penting dari upacara. Sakit menandakan satu periode waktu pergantian status karena kemudian akan ada masa sembuh.

“Balas dendam” tentulah lebih bisa mengartikan bagaimana senior-junior tetap dibina dalam kehidupan pendidikan di Indonesia. Dalam prosesi ini, para junior bisa dikatakan memasuki masa-masa “sial” dalam hidupnya. Ia seakan-akan hanyalah onggokan daging hidup yang tak berguna dan belum bisa dikatakan manusia, terlebih “teman” bila tak melewati serangkaian ujian-ujian yang diberikan para senior. Dunia pendidikan hanyalah sebuah ilusi lokasi dimana balas dendam dilakukan. Sedih, tak ada unsur-unsur akademik diikutsertakan dalam serangkaian prosesi ini. Meskipun harus diakui, beberapa inisiasi kampus masih menyematkan unsur ini. Namun mereka hanyalah minoritas dalam dunia senior-junior pendidikan.

Mengapa hal demikian terjadi ?

Tentulah ini merupakan pertanyaan yang sulit dijawab. Perpeloncoan dalam ranah senior-junior merupakan sebuah akar dari ketidakberesan bagaimana sebuah pergaulan dijalankan. Pendidikan kita seakan absen dalam memberikan pelajaran-pelajaran diluar ilmu yang diujikan. Fokus terpenting hanyalah nilai-nilai ujian yang bagus tanpa perlu memperhatikan sebuah bentuk mendasar bernama pergaulan. Pendidikan selalu berkilah, hal demikian merupakan tanggung jawab masing-masing orang tua tanpa mereka sadari bahwa saat si murid pulang dari sekolah, keadaan tak jauh membaik. Dimana orang tua mereka sibuk dalam berbagai urusan menyangkut keuangan keluarga.

Akibatnya, urusan pergaulan, pertemanan, dan lain hal menyangkut hubungan sosial yang terjadi lebih dipercayakan kepada mereka yang dianggap lebih tua yakni para senior. Ironisnya, senior dalam dunia pendidikan tak serta merta memasukkan unsur-unsur akademik, logika berpikir, atau nalar-nalar sehat lainnya. Mereka, para senior masih menganggap bahwa cara-cara kekerasan masihlah yang utama dalam membuat junior takut dan segan terhadap para senior. Kepatuhan merupakan harga mati yang harus disematkan pada mereka para junior dalam berhubungan dengan senior.

Seperti yang diutarakan “Hans Daeng sebagai“ bejalar pengetahuan kelompok/etniknya” tentulah bukan belajar bagaimana para senior survive dalam kerangka akademik, melainkan bagaimana senior yang menginisiasi atau mempelonco juniornya mentransfer pengetahuan tersebut untuk bisa diaplikasikan kelak ketika sang junior berganti status menjadi senior. Dan saat itu terjadi, sebuah lingkaran setan dunia pendidikan berhasil diciptakan, untuk lebih memahami nalar senior-junior bekerja tentulah elok jika kita membaca kembali apa yang pernah terucap dari seorang yang luar biasa kata-kata untuk pesan yang perlu kita ingatkan kembali.

Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi, dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa macam tadi. ( Soe Hok Gie 

Hidup adalah soal keberanian menghadapi yang tanda Tanya. Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar.Terimalah, dan hadapilah. (Soe Hok Gie) 


Melihat cerita singkat diatas tentang Senior – Junior, memang tidak semuanya Senior itu melakukan hal-hal yang tidak baik, banyak juga dari Senior yang bermanfaat buat Junior nya, walaupun hanya sekitar 45% dari Senior yang bisa memberikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya ke junior yang akan menggantikan para senior tersebut, walaupun terkadang memang yang namanya ilmu itu mahal dan susah didapatkan, tetapi bagi junior yang tetap ingin maju dan tidak mengenal lelah dalam berjuang menjalani kehidupan yang fanah ini, maka. ilmu itu tidak akan mahal dan tidak akan susah didapatkan, akan tetapi juga diharapkan dari para senior yang baik untuk mendorong para junior masuk ke dalam jalan yang benar dan bermanfaat buat masyarakat khususnya. Walaupun saat ini dimana aku ada dilingkungan orang lebih tua atau disebut Senior, sangat bisa aku mengerti dan memahami keadaan yang sebenarnya. Lebih baik menunduk kepala ketika kita mau menuntut ilmu dari pada kita menegakkan kepala pada akhirnya akan kandas pula apa yang ingin kita capai untuk kemenangan pada akhirnya.

Ketika ku memulai tulisan ku dengan 3 pesan seorang yang luar biasa “Soe Hok Gie” maka aku akan menutup tulisan ku ini juga dengan 3 pesan dari orang yang sama.
  • Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis.
  • Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
  • Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita. 
Dengan ketiga pesan dari seorang pemikir yang luar biasa tersebut. Maka. aku akan tetap melanjutkan perjuangan ku, walaupun badai dan gelombang yang menghalangi, etikat ku tak akan pernah tergoyahkan dengan komitmen yang sudah aku buat selama ini, sampai kapanpun selagi aku sehat dan akal fikiran ku selalu waras, maka aku tetap akan membantu penderitaan rakyat yang selama ini selalu di usik dan mau dirampas HAK mereka, walaupun perjuangan ku tak sebanding dengan perjuangan rakyat seutuhnya, setidaknya aku sudah ada niat ingin membantu sesuai dengan kemampuan yang aku miliki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Walau badai yang menghampiri diri ini...
Tak akan menyerah yang nama nya perjuangan belum berakhir...